Artikel tanggal 15 Juni 2009 dari Majalah Tempo Online yang masih sangat relevan hingga kapan pun juga karena pemerintah kita belum mampu bertindak tegas meredam peredaran obat-obatan pelangsing yang sangat membahayakan tubuh dan jiwa penggunanya.
Hartinah bangga seperti mendapat piala. Belasan celana jins perempuan 44 tahun itu kembali pas di badan setelah berbulan-bulan harus diparkir bersama kamper pewangi di dalam lemari. Tubuhnya sempat terus membengkak, dari 60 kilogram menjadi 72 kilogram. Ukuran pinggang celananya naik, dari 3233 ke 3436. Namun, setelah dia menenggak obat pelangsing selama dua bulan, alakazam, berat badannya turun menjadi 62 kilogram.
Itu cerita tiga bulan lalu. Kini tubuh Tina begitu panggilan pedagang bahan kimia di Kampung Melayu, Jakarta, itu kembali membengkak. Sebab, dia berhenti minum obat pelangsing yang direkomendasikan banyak orang itu. "Saya sulit tidur. Rasanya seperti minum obat flu dalam dosis besar," ujarnya. Jantungnya juga berdebar lebih keras.
Dalam kemasan obat yang dikonsumsi Hartinah, ditulis khasiat: menurunkan berat badan, mengurangi nafsu makan dan rasa lapar, menjaga berat badan, serta mengecilkan perut. Juga tak lupa dituliskan dengan huruf tebal: alami, dan tanpa efek samping!
Lain lagi yang dialami Kesih, 56 tahun. Ibu tiga anak itu merasa sakit kepala dan mual setelah minum obat pelangsing yang dipesan lewat sebuah harian terbitan Ibu Kota. "Saya khawatir sakitnya merembet ke organ tubuh lain. Saya langsung berhenti," katanya.
Tubuh ramping yang selalu diidentikkan dengan kecantikan tetap menjadi dambaan banyak orang, terutama perempuan. Namun tetap saja orang berpikir semua itu bisa dicapai dengan cara instan. Orang kaya-raya bisa menggunakan cara operasi sedot lemak. Tapi, bagi yang tidak terlalu banyak dana, menahan lapar dan mengkonsumsi obat pelangsing "herbal" biasanya menjadi jalan keluar.
Menurut farmakolog senior dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Iwan Darmansjah, penggunaan obat pelangsing sebenarnya sudah marak sejak akhir 1940an. "Waktu itu, obat yang digunakan adalah deksedrin. Obat tersebut sudah tak dibuat lagi karena berbahaya," katanya.
Menurut Ari Fahrial, beberapa pasien yang menghentikan konsumsi obat pelangsing malah naik berat badannya secara tak terkontrol, seperti yang dialami Hartinah. "Yang berbahaya, obat pelangsing digunakan untuk menekan metabolisme tubuh. Orang menjadi buang air terus-menerus, berkeringat berlebihan, dan sebagainya," ujarnya.
Dalam beberapa kasus, menurut Ari, dokter memang memberikan obat diet, yaitu obat antienzim lemak. Gunanya menyerap lemak pada makanan, sehingga si penyebab kegendutan itu tak parkir nyaman dalam tubuh. Itu pun harus dilihat secara menyeluruh faktor risikonya, seperti gula darah, kolesterol, dan asam urat. "Faktor risiko dulu harus diselesaikan," ujar Ari.
Dia sepakat dengan Iwan, mengurangi berat badan itu perlu, tapi dengan cara alami, yaitu mengurangi asupan makanan, terutama karbohidrat dan lemak. Lagi pula, setelah 20 tahun, menurut Ari, seseorang tak butuh lagi asupan makanan berlebihan, karena relatif sudah tak tumbuh lagi. "Asupan harus sesuai dengan aktivitas," ujar Ari.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), penurunan berat badan tak dapat dilakukan secara instan, tapi mesti dengan terapi jangka panjang. Kalaupun terjadi pengurangan berat badan, dalam sebulan tak lebih dari lima persennya berat badan. Mengurangi berat badan bukan sekadar mengurangi porsi makan. Diperlukan bimbingan ahli gizi sebelum melakukan perubahan pola makan, diiringi aktivitas fisik serta terapi perilaku.
Memang belum ada jawaban paling tepat untuk menurunkan berat badan. Namun ini bisa dipelajari dari rekomendasi pola diet National Weight Control Registry di Amerika Serikat. Lembaga itu mengumpulkan ribuan data orang yang berhasil menurunkan berat badan lebih dari 13 kilogram dan tetap bertahan dalam berat ideal selama lebih dari lima tahun. Karakteristik pola makan mereka adalah rendah lemak serta asupan karbohidrat cukup tinggi tapi rendah kalori (1.3001.500 kkal/hari).
Untuk mempermudah perhitungan asupan, menurut Ari dan Iwan, porsinya dikurangi dari yang biasa. "Jika biasanya tiap makan satu porsi, kurangi sepertiganya, begitu juga camilan," kata Ari. Mayoritas anggota yang terdaftar dalam National Weight Control Registry memiliki kebiasaan makan pagi rutin, memantau berat badan sendiri secara berkala, serta berolahraga. Pokoknya, tidak ada cara instan yang sehat dalam menurunkan berat badan.
Efek Pelangsing
Menurut dokter ahli penyakit dalam Ari Fahrial Syam, obat pelangsing biasanya merupakan obat penyakit lain yang punya efek samping mengurangi berat badan.
Obat digitalis
Jenis obat jantung yang bisa menurunkan berat badan, sehingga sering disalahgunakan. Lama-kelamaan pemakai bisa menderita anoreksia, yaitu keadaan saraf di otak yang menekan atau menghilangkan nafsu makan. Orang biasanya mengalami demam tinggi.
Obat antispasmodik
Membuat perut kembung seakan kenyang dan jadi merasa malas makan. Tubuh pun lemas dan tidak berenergi, membuat malas beraktivitas.
Obat pencahar
Bersifat laksatif atau menguras perut, kerap digunakan untuk menurunkan berat badan. Padahal, jika digunakan tidak tepat, akan berbahaya karena dapat mengakibatkan dehidrasi hingga infeksi pencernaan. Penggunaan obat pelangsing yang bersifat pencahar ini dapat menyebabkan usus bereaksi lebih aktif menyerap makanan. Makanan yang dikonsumsi cepat dibuang sebelum diserap. Bisa menyebabkan juga kekurangan gizi (malnutrisi). Akibatnya, bila konsumsi obat ini dihentikan, tubuh makin bertambah gemuk karena usus jadi lebih efisien dalam menyerap makanan.
Obat diuretik
Obat yang menimbulkan keinginan seseorang untuk sering berkemih. Berat badan memang turun sesuai dengan keinginan. Namun cairan tubuh yang keluar juga berlebih. Ancamannya bukan hanya dehidrasi. Elektrolit tubuh juga hilang sehingga mengakibatkan kerja ginjal dan jantung terganggu.
Obat-obatan lain
Obat yang bersifat memacu pembakaran kalori dapat merangsang kerja jantung, sehingga menimbulkan gangguan pada jantung.
0 comments:
Posting Komentar